Kamis, 15 Oktober 2015

MAKALAH KAMBING PERAS

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Kambing perah merupakan komoditas baru di Indonesi yang kemungkinan memiliki prospek pengembangan yang baik. Walaupun belum terbukti secara ilmiah, anggapan yang berkembang di masyarakat adalah bahwa susu kambing dapat menyembuhkan berbagai penyakit pernafasan, seperti asma dan TBC. Oleh karena itu permintaan cenderung semakin meningkat dan harga yang masih cukup tinggi. Di sisi lain kambing perah dapat berperan ganda sebagai peghasil susu dan daging. Dari kebutuhan investasi, usaha kambing pernah memerlukan investasi jauh lebih kecil dibandingkan dengan sapi perah dan disamping ini relatif lebih mudah dalam manajemen.
Kambing perah yang banyak dikembangkan di Indonesia umumya kambing peranakan Etawah (PE), yang umumnya masih lebih dominan sebagai sumber daging dibandingkan dengan sumber air susu. Susu kambing belum dikenal secara Iuas seperti susu sapi padahal memiliki komposisi kimia yang cukup baik (kandungan protein 4,3% dan lemak 2,8%) relatif lebih baik dibandingkan kandungan protein susu sapi dengan protein 3,8% dan lemak 5,0% (Sunarlim dkk, 1992). Disamping itu dibandingkan dengan susu sapi, susu kambing lebih mudah dicerna, karena ukuran molekul lemak susu kambing lebih kecil dan secara alamiah sudah berada dalam keadaan homogen (Sunarlim dkk, 1992) (Sinn, 1983).
Produktivitas biologis kambing cukup tinggi, 8-28% lebih tinggi dibandingkan sapi (Devendra, 1975). Jumlah anak per kelahiran (litter size) bervariasi 1 sampai dengan 3 ekor dengan tingkat produksi susu yang melebihi dari kebutuhan untuk anaknya, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai produk komersial dan tidak mengganggu proses reproduksinya. Biaya investasi usaha ternak kambing relatif rendah dan pemeliharaannya pun jauh lebih mudah dibanding sapi.
Pengembangan usaha kambing PE mempunyai peluang pasar yang cukup tinggi di Kabupaten Cianjur karena daya dukung kesesuaian iklim dan aksesibilitas ke berbagai daerah konsumen. Tingginya impor dan masih rendahnya produksi susu sapi dalam negeri, merupakan pasar yang perlu dijajagi.
Dari aspek produksi daging, permintaan daging kambing di Indonesia maupun di dunia juga mengalami peningkatan pesat selama 10 tahun terakhir ini. Indonesia mengkonsumsi kambing sebagai salah satu sumber protein hewani yang utama setelah sapi dan ayam. Pasokan daging kambing relatif terbatas karena usaha peternakan kambing di Indonesia di dominasi oleh usaha rumah tangga dengan skala pemilikian 4 – 10 ekor.
Permintaan kambing untuk konsumen khususnya seperti restauran dan hotel-hotel masih dipenuhi oleh impor. Hal ini disebabkan daging kambing dalam negeri kurang sesuai untuk masakan yang dikehendaki oleh restauran dan hotel tersebut. Pengembangan pasar ke pasar spesifik merupakan peluang ekonomi yang pantas diraih dengan pengusahaan peternakan kambing sistem ranch, dan hal ini sangat sesuai dengan kambing PE. Komoditas susu kambing juga memiliki propek yang baik sejalan dengan semakin memasyarakatnya susu tersebut.
Kabupaten Cianjur memiliki keunggulan komparatif dalam usaha peternakan kambing karena ketersediaan lahan luas diikuti oleh kemampuan penduduk dalam menangani ternak ini. Perkembangan teknologi dalam bidang peternakan yang pesat memungkinkan untuk mencapai produktivitas lebih dari yang ada pada saat ini.
Usaha Peternakan Khususnya Kambing Perah Memiliki Banyak Manfaat Bagi Masyarakat Petani Pedesaan, Antara Lain :
1.      Meningkatkan penghasilan masyarakat dari penjualan produk usaha ternak (cempe),
2.      Mengurangi biaya produksi pertanian melalui pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk (selain lebih murah juga ramah lingkungan),
3.      Meningkatkan gizi dengan konsumsi susu yang diperoleh dari hewan ternaknya.
Sumber daya alam di pedesaan sangat mendukung budidaya ternak terkait dengan ketersedian hijauan makanan ternak yang hampir tersedia sepanjang tahun. Sumber daya petani melalui bimbingan dan pelatihan secara kontinyu akan mampu menguasai teknik beternak yang baik.
Kelemahan utama yang ada adalah keterbatasan modal sehingga usaha peternakan khususnya kambing perah belum menjadi pilihan. Disamping itu jiwa kewirausahaan belum menjadi budaya masyarakat sehingga inovasi dan kreatifitas tidak berkembang meskipun tingkat pendidikan formal cukup memadai. Masyarakat pedesaan umumnya lebih suka menduplikasi atau meniru usaha yang telah berjalan daripada memulai percobaan usaha sendiri.
Untuk itulah saya melakukan inisiasi peternakan kambing perah di desa tempatku lahir dan dibesarkan. Pengalaman beternak kambing biasa (jawa randu) selama 2 tahun menunjukkan secara bisnis cukup menguntungkan (dari 1 ekor menjadi 4 ekor). Kendala utama yang dihadapi adalah keterbatasan pejantan sehingga perkawinan kambing tidak optimal, sebagai akibatnya calving period terlalu panjang. Disisi lain jika memelihara pejantan tanpa dibarengi jumlah betina yang memadai akan memboroskan biaya. Menurut perhitungan setidaknya 10 ekor betina harus dipelihara jika memelihara 1 ekor pejantan.

1. 2  Tujuan
Melakukan analisis finansial usaha ternak kambing di lingkungan di Kabupaten Cianjur mencangkup keuntungan usaha jangka pendek maupun jangka panjang serta prospek pengembangan di masa yang akan datang.









BAB 11
PEMBAHASAN
2.1  Budidaya  Beternak Kambing
Kambing banyak dipelihara oleh penduduk pedesaan Indonesia (Mulyono, 2003), karena pemeliharaannya lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan ternak ruminansia besar. Kambing cepat berkembang biak dan pertumbuhan anaknya juga tergolong cepat. Menurut Sarwono (1999), nilai ekonomis, social, dan budaya beternak kambing sangat nyata, karena peningkatan pendapatan keluarga bisa mencapai 14-25 % dari total pendapatan keluarga, semakin rendah perluasan lahan pertanian dan nilai sumber daya yang diusahakan dari beternak kambing.
Kambing Etawa Berasal dari wilayah Jamnapari India. Kambing ini paling popular di Asia Tenggara, termasuk tipe dwiguna yaitu penghasil susu dan penghasil daging. Ciri-cirinya postur tubuh besar, telinga panjang menggantung, bentuk muka cembung, bulu bagian paha sangat lebat, BB jantan mencapai 90 kg, BB betina 60 kg. produksi susu mencapai 235 kg/ms laktasi. Di Indonesia untuk perbaikan mutu kambing local maka menghasilkan kambing PE (Peranakan Etawa). Sentra terbesar kambing PE adalah di Kaligesing Purworejo Jawa Tengah (Anonim,2008).
Kambing Peranakan Etawa adalah ternak dwi guna, yaitu sebagai penghasil susu dan sebagai penghasil daging (Williamson dan Payne, 1993). Kambing PE adalah bangsa kambing yang paling populer dan dipelihara secara luas di India dan Asia Tenggara (Devendra dab Burns, 1994).
Ciri-ciri kambing PE adalah warna bulu belang hitam putih atau merah dan coklat putih; hidung melengkung; rahang bawah lebih menonjol; baik jantan maupun betina memiliki tanduk; telinga panjang terkulai; memiliki kaki dan bulu yang panjang (Sosroamidjoyo, 1984). Kambing PE telah beradaptasi dengan baik terhadap kondisi dan habitatIndonesia (Mulyono, 2003).
Menurut Sarwono (1999), bila tata laksana pemeliharaan ternak kambing yang sedang bunting atau menyusui serta anaknya baik, maka bobot anak kambing bisa mencapai 10-14 kg/ekor ketika disapih pada umur 90-120 hari. Williamson dan payne (1993) menyatakan untuk kambing pedaging ada kecendrungan menunda penyapihan untuk memberikan kesempatan anak kambing memperoleh keuntungan yang maksimal dari susu induknya. Sedangkan untuk kambing perah, penyapihan harus dilakukan lebih awal, tanpa mengganggu pertumbuhan anaknya, agar kelebihan produksi induk dapat dimanfaatkan oleh peternak untuk meningkatkan pendapatan atau keperluan gizi keluarga (Asih, 2004).

2.2  Sistem Pemeliharaan Ternak Kambing PE
Menurut Williamson dan Payne (1993), sistem pemeliharaan secara ekstensif umumnya dilakukan di daerah yang padang pengembalaannya luas, kondisi iklim yang menguntungkan, dan untuk daya tampung kira-kira tiga sampai dua belas ekor kambing per hektar. Sistem pemeliharaan secara ekstensif, induk yang sedang bunting dan anak-anak kambing yang belum disapih harus diberi persediaan pakan yang memadai (Devendra dan Burns, 1994). Rata-rata pertambahan bobot badan kambing yang dipelihara secara ekstensif dapat mencapai 20-30 gram per hari (Mulyono 2003).
Sistem pemeliharaan secara intensif memerlukan pengandangan terus menerus atau tanpa pengembalaan dan lebih terkontrol (Williamson dan Payne 1993). Kambing jantan dan betina dipisahkan begitu juga betina muda dari umur tiga bulan sampai cukup umur untuk dikembang biakkan. Kambing pejantan harus dipisahkan dengan yang betina (Devendra dan Burns, 1994). Pertambahan bobot badan pada sistem pemeliharaan intensif ini bisa mencapai 100-150 gram per hari dengan rata-rata 120 gram perhari (Sarwono, 1999).
Sistem pemelihraan semi intensif merupakan gabungan dari ekstensif dan intensif yaitu dengan pengembalaan terkontrol dan pemberian konsentrat tambahan (Williamson dan Payne 1993). Pertambahan bobot badan sistem ini bisa mencapai 30-50 gram per hari.

2.3  Pemeliharaan Induk Kambing Laktasi
Pemliharaan induk kambing laktasi dapat dilakukan dengan beberapa cara untuk memenuhi kebutuhan susu anaknya dan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tubuhnya yaitu dengan melakukan penanganan pada waktu melahirkan, kemudian memperhatikan pakan dan air minum  yang diberikan dan juga sanitasi (kebersihan) kandang supaya terhindar dari sumber-sumber penyakit yang bisa mengurangi produktifitas induk kambing laktasi laktasi tersebut (Anonim, 2009).



2.4  Pemberian Pakan Pada Induk Kambing Pe
Sarwono (1999) menyatakan, kambing membutuhkan jenis hijauan yang beragam. Kambing sangat menyukai daun-daunan dan hijauan selain itu kambing juga memerlukan pakan penguat untuk mencukupi kebutuhan gizinya. Pakan penguat bisa berupa dedak, bekatul padi, jagung atau ampas tahu dan dapat juga campurannya. Sodiq (2002) menjelaskan, kambing tergolong hewan herbivore atau hewan pemakan tumbuhan. Kebutuhan ternak ruminansia terhadap pakan, tergantung dari jenis ternaknya, umur ternak, fase (pertumbuhan, dewasa, bunting atau menyusui), kondisi tubuh dan lingkungan tempatnya hidup. Pakan sangat dibutuhkan kambing untuk tumbuh dan berkembang biak (Sarwono, 1991).
Pakan yang sempurna mengandung gizi seperti protein, karbohidrat lemak, vitamin dan mineral yang seimbang (Mulyono, 2003). Pemberian pakan yang efisien mempunyai pengaruh lebih besar dari pada faktor-faktor yang lainnya, dan merupakan cara yang sangat penting untuk peningkatan produktivitas (Devendra dan Burns, 1994).

2.5  Penanganan Kesehatan Induk Kambing Pe
Ternak kambing merupakan ternak yang umumnya dipelihara di pedesaan, sehingga banyak ditemukan penyakit-penyakit seperti scabies (kudis), belatungan (myasis), cacingan dan keracunan tanaman. Pengobatan yang biasa diberikan di pedesaan yaitu pengobatan tradisional, meskipun banyak obat-obatan terjual di toko. Namun demikian usaha pencegahan perlu dilakukan dengan menjaga kebersihan ternak dan lingkungannya, pemberian pakan yang cukup (kualitas dan kuantitas), bersih dan tidak beracun (Anonim, 2009).
Menurut Muljana (2001), Pengobatan ternak kambing khususnya penyakit scabies bisa menggunakan obat seperti Asuntol, Tiguvon, Neguvon, Termadex, Benzyl Benzonate dan bisa dilakukan dengan cara menempatkan ternak ditempat yang hangat dan pakan bergizi tinggi, rambut kambing dicukur dan dimandikan serta bisa juga menggunakan obat-obatan seperti serbuk belerang dicampur kunyit dan binyak kelapa yang dipanasi, kemudian dioleskan. Penyakit belatung disebabkan oleh luka yang berdarah dan infeksi kemudian dihinggap lalat sehingga tumbuh larva belatung. Pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan Gusanex dan obat anti biotik lainnya, atau bisa dilakukan dengan cara membersihkan luka kemudian obati dengan gerusan kamper/kapur barus kemudian luka ditutup dengan perban dan diulangi pada hari selanjutnya (Anonim, 2009).

 2.6 Pemeliharaan Induk Bunting
Kebuntingan pada seekor induk dapat dianggap terjadi apabila induk tidak menunjukkan tanda birahi kurang lebih 3 minggu setelah terjadi perkawinan. Proses kebuntingan pada induk menimbulkan banyak perubahan fisiologis, sehingga setiap cekaman dari luar harus dapat dicegah semaksimal mungkin. Kepekaan induk bunting terhadap berbagai potensi cekaman ini semakin kuat seiring dengan bertambahnya usia kebuntingan. Kebuntingan biasanya menyebabkan kapasitas saluran cerna untuk menampung pakan menurun, sehingga secara fisik menekan konsumsi pakan, sedangkan kebutuhan nutrisi meningkat, sejalan dengan bertambahnya bobot fetus di dalam kandungan.
Masa bunting pada   induk kambing sekitar 5 bulan (146-155 hari), namun periode paling kritis terjadi selama 6-8 minggu sebelum melahirkan, karena 80% pertumbuhan janin terjadi dalam masa tersebut. Oleh karena itu, mengetahui saat terjadi perkawinan menjadi sangat penting dalam menduga umur kebuntingan seekor induk .Kambing yang bunting harus ditempatkan di kandang terpisah untuk menghindari gangguan kambing lainnya untuk menghindari perkelahian sesama kambing. Perlu juga dijaga agar kandang tidak licin, karena bisa menyebabkan kambing yang sedang bunting tergelincir yang mengakibatkan keguguran.
Untuk melancarkan proses kelahiran, setiap hari kambing bunting sebaiknya dikeluarkan dari kandang dan dibawa berjalan-jalan selama satu jam. Masa kebuntingan kambing selama 5 bulan.Selama periode bunting, kambing juga membutuhkan pakan yang lebih banyak dan lebih berkualitas untuk menunjang seluruh proses didalam tubuhnya. Di samping itu untuk menunjang proses laktasi setelah beranak. Pakan berupa hijauan yang bervariasi (dalam jumlah 10% berat badan) dan kosentrat 0,5-0,6 kg perhari sudah mampu mencukupi kebutuhan kambing bunting ( Sodiq dan Abidin.2002).

2.7  Pemeliharaan Induk Masa Laktasi
Masa laktasi adalah masa kambing perah mampu menghasilkan susu. Sesaat setelah melahirkan , ambing kambing sudah menghasilkan cairan yang disebut kolostrum. Kolostrum bisa keluar dengan cara diisap oleh cempe atau diperah. Untuk kambing-kambing perah, sebaiknya kolostrum dikeluarkan dengan cara diperah dan diberikan kepada cempe dengan menggunakan ambing buatan berupa botol susu bayi. Tujuannya untuk menghindari kotornya ambing yang akan menyebabkan susu kambing  yang akan dihasilkan tercemar. Kolostrum dihasilkan oleh ambing selama 2-7 hari, setelah itu ambing akan menghasikan susu normal. Atas dasar pertimbangan ekonomi , sebaiknya cempe diberi susu buatan, sedangkan susu kambing yang dihasilkan seluruhnya dijual (Sodiq dan Abidin.2002).

2.8  Karakteristik Pasar
Pasar bagi daging kambing dapat digolongkan menjadi 2 bagian besar yakni pasar tradisional bagi masyarakat pedesaan dan sebagian masyarakat kota dan pasar khusus bagi masyarakat kota. Kedua jenis konsumen daging kambing ini mempunyai karakteristik yang berbeda. Konsumen dari pasar tradisonal belum memperhatikan aspek-aspek kesehatan hewan, pembangunan jenis daging dan cara penanganan daging. Sedang konsumen masyarakat kota sangat memperhatikan masalah-masalah kesehatan hewan/daging, cara penanganan dan pembagian jenis daging. Besarnya pangsa kedua jenis pasar ini tak dapat ditentukan.
Pada pasar tradisional, daging kambing dibeli oleh pedagang dari ternak, kemudian dipotong di rumah pemotongan hewan atau dipotong sendiri. Penjualan daging ini dilaksanakan di pasar-pasar umum. Pasar khusus masyarakat kota umumnya membeli dari pedagang daging yang telah disertifikasi. Daging dipotong di rumah pemotongan hewan dan dijual di supermarket atau di toko-toko khusus yang menjual daging. Hotel dan restoran selain membeli dari supermarket juga membeli dari pemasok yang khusus mengantarkan daging ke restoran sesuai dengan pesanan.
Tingkat permintaan daging kambing tidak terlalu fluktuatif sepanjang tahun, namun permintaan akan meningkat dengan cepat pada saat Hari raya Idul Adha. Pada hari raya tersebut, biasanya permintaan daging akan meningkat dan harga akan meningkat pula. Pada Hari raya Idul Adha, dijual kambing hidup yang sehat untuk digunakan pada kegiatan keagamaan.

a.    Persepsi konsumen.
Dari hasil studi Sukmawati et al. 19.., memperlihatkan tentang posisi susu kambing yang semakin penting di masyarakat. Dari hasil wawancara tersebut, bahwa sebagian besar konsumen memanfaatkan susu kambing sebagai obat (56,3%) selebihnya untuk menambah daya tahan tubuh (31,2%) dan sebagai aprodisiak (12,5%). Susu kambing lebih dikenal sebagai penawar penyakit tertentu disamping sebagai sumber gizi. Berdasarkan kesimpulan dari berbagai literature tentang kandungan dan khasiat susu kambing adalah sebagai berikut :
Dari data yang ada, susu kambing ternyata sangat potensial sebagi sumber protein hewani disamping susu sapi. Bagi anak-anak (bayi) yang alergi terhadap susu sapi, susu kambing dapat menggantikannya. Oleh sebab itu, tepat sekali kalau pemasyarakatan susu kambing dikaitkan dengan program gizi keluarga dalam program posyandu. Di Inggris, susu kambing selain dikonsumsi, juga diolah menjadi berbagai bentuk seperti keju, krim, mentega dan yoghurt (Mackenzie,1970).

b.      Harga yang sangat menarik.
Persepsi tersebut diatas mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap mahalnya harga susu kambing jika dibandingkan harga susu sapi yang dapat mencapai 10 kali lipat. Harga susu kambing segar mulai Rp12.000/liter di Jawa Barat, sebaliknya harga susu sapi Rp2500 – 3000/liter.

c.       Konsumsi Susu Kambing.
Akhir-akhir ini konsumsi susu kambing terus meningkat dari tahun ketahun. Laju peningkatan populasi yang tidak seimbang dengan laju permintaan kambing tersebut akan menciptakan ketidakseimbangan antara permintaan dan produksi tersebut. Jika diperkirakan seekor kambing dapat menghasilkan daging seberat 10 kg, laju permintaan daging kambing 6% per tahun dan laju peningkatan populasi kambing sebesar 3% per tahun maka proyeksi permintaan dan populasi kambing tahun 1999. 




BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kambing perah merupakan komoditas baru di Indonesi yang kemungkinan memiliki prospek pengembangan yang baik. Walaupun belum terbukti secara ilmiah, anggapan yang berkembang di masyarakat adalah bahwa susu kambing dapat menyembuhkan berbagai penyakit pernafasan, seperti asma dan TBC.

3.2 saran
Tempat pakan seharusnya tetap dibersihkan sebelum diberikan pakan lagi, supaya sisa-sisa pakan tersebut tidak membusuk dan mengeluarkan bau yang mengurangi nafsu makan ternak kambing.

  

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008 .   Kambing Perah.

Anonim, 2009. Penyakit Umum Yang Menyerang Pada Kambing.
http://klinikhewan09.wordpress.com  ( diakses pada tanggal 16 april 2014 ).

Arif, 2010. Penanganan Proses Kelahiran Pada Ternak Kambing. Penanganan Proses Kelahiran Pada Ternak.

Penanganan Proses Kelahiran Pada Ternak Kambing   Kandang Bambu    Management.html  ( diakses pada tanggal 16 april 2014 ).

Asih, A.R.S. 2004. Manajemen Ternak Perah. UNRAM Press. Mataram.
Devendra C. dan M. Burns. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Penerbit ITB. Bandung.

Ginting, Simon P.2009. Pedoman Teknis Pemeliharaaan Induk dan Anak Kambing Masa Pra-Sapih. Loka Penelitian Kambing Potong. Sumatra Utara.

Muljana, W, 2001. Cara Beternak Kambing. CV. Aneka Ilmu. Semarang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar