BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kambing perah merupakan komoditas baru di Indonesi yang kemungkinan
memiliki prospek pengembangan yang baik. Walaupun belum terbukti secara ilmiah,
anggapan yang berkembang di masyarakat adalah bahwa susu kambing dapat
menyembuhkan berbagai penyakit pernafasan, seperti asma dan TBC. Oleh karena
itu permintaan cenderung semakin meningkat dan harga yang masih cukup tinggi.
Di sisi lain kambing perah dapat berperan ganda sebagai peghasil susu dan
daging. Dari kebutuhan investasi, usaha kambing pernah memerlukan investasi
jauh lebih kecil dibandingkan dengan sapi perah dan disamping ini relatif lebih
mudah dalam manajemen.
Kambing perah yang banyak dikembangkan di Indonesia umumya kambing
peranakan Etawah (PE), yang umumnya masih lebih dominan sebagai sumber daging
dibandingkan dengan sumber air susu. Susu kambing belum dikenal secara Iuas
seperti susu sapi padahal memiliki komposisi kimia yang cukup baik (kandungan
protein 4,3% dan lemak 2,8%) relatif lebih baik dibandingkan kandungan protein
susu sapi dengan protein 3,8% dan lemak 5,0% (Sunarlim dkk, 1992). Disamping
itu dibandingkan dengan susu sapi, susu kambing lebih mudah dicerna, karena
ukuran molekul lemak susu kambing lebih kecil dan secara alamiah sudah berada
dalam keadaan homogen (Sunarlim dkk, 1992) (Sinn, 1983).
Produktivitas biologis kambing cukup tinggi, 8-28% lebih tinggi
dibandingkan sapi (Devendra, 1975). Jumlah anak per kelahiran (litter size)
bervariasi 1 sampai dengan 3 ekor dengan tingkat produksi susu yang melebihi
dari kebutuhan untuk anaknya, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai produk
komersial dan tidak mengganggu proses reproduksinya. Biaya investasi usaha
ternak kambing relatif rendah dan pemeliharaannya pun jauh lebih mudah
dibanding sapi.
Pengembangan usaha kambing PE mempunyai peluang pasar yang cukup tinggi
di Kabupaten Cianjur karena daya dukung kesesuaian iklim dan aksesibilitas ke
berbagai daerah konsumen. Tingginya impor dan masih rendahnya produksi susu
sapi dalam negeri, merupakan pasar yang perlu dijajagi.
Dari aspek produksi daging, permintaan daging kambing di Indonesia maupun di dunia juga mengalami peningkatan pesat selama 10 tahun terakhir ini. Indonesia mengkonsumsi kambing sebagai salah satu sumber protein hewani yang utama setelah sapi dan ayam. Pasokan daging kambing relatif terbatas karena usaha peternakan kambing di Indonesia di dominasi oleh usaha rumah tangga dengan skala pemilikian 4 – 10 ekor.
Dari aspek produksi daging, permintaan daging kambing di Indonesia maupun di dunia juga mengalami peningkatan pesat selama 10 tahun terakhir ini. Indonesia mengkonsumsi kambing sebagai salah satu sumber protein hewani yang utama setelah sapi dan ayam. Pasokan daging kambing relatif terbatas karena usaha peternakan kambing di Indonesia di dominasi oleh usaha rumah tangga dengan skala pemilikian 4 – 10 ekor.
Permintaan kambing untuk konsumen khususnya seperti restauran dan hotel-hotel
masih dipenuhi oleh impor. Hal ini disebabkan daging kambing dalam negeri
kurang sesuai untuk masakan yang dikehendaki oleh restauran dan hotel tersebut.
Pengembangan pasar ke pasar spesifik merupakan peluang ekonomi yang pantas
diraih dengan pengusahaan peternakan kambing sistem ranch, dan hal ini sangat
sesuai dengan kambing PE. Komoditas susu kambing juga memiliki propek yang baik
sejalan dengan semakin memasyarakatnya susu tersebut.
Kabupaten Cianjur memiliki keunggulan komparatif dalam usaha peternakan
kambing karena ketersediaan lahan luas diikuti oleh kemampuan penduduk dalam
menangani ternak ini. Perkembangan teknologi dalam bidang peternakan yang pesat
memungkinkan untuk mencapai produktivitas lebih dari yang ada pada saat ini.
Usaha Peternakan Khususnya Kambing Perah
Memiliki Banyak Manfaat Bagi Masyarakat Petani Pedesaan, Antara Lain :
1. Meningkatkan penghasilan masyarakat dari
penjualan produk usaha ternak (cempe),
2. Mengurangi biaya produksi pertanian melalui
pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk (selain lebih murah juga ramah
lingkungan),
3. Meningkatkan gizi dengan konsumsi susu yang
diperoleh dari hewan ternaknya.
Sumber daya alam di pedesaan sangat mendukung budidaya ternak terkait
dengan ketersedian hijauan makanan ternak yang hampir tersedia sepanjang tahun.
Sumber daya petani melalui bimbingan dan pelatihan secara kontinyu akan mampu
menguasai teknik beternak yang baik.
Kelemahan utama yang ada adalah keterbatasan modal sehingga usaha
peternakan khususnya kambing perah belum menjadi pilihan. Disamping itu jiwa
kewirausahaan belum menjadi budaya masyarakat sehingga inovasi dan kreatifitas
tidak berkembang meskipun tingkat pendidikan formal cukup memadai. Masyarakat
pedesaan umumnya lebih suka menduplikasi atau meniru usaha yang telah berjalan
daripada memulai percobaan usaha sendiri.
Untuk itulah saya melakukan inisiasi peternakan kambing perah di desa
tempatku lahir dan dibesarkan. Pengalaman beternak kambing biasa (jawa randu)
selama 2 tahun menunjukkan secara bisnis cukup menguntungkan (dari 1 ekor
menjadi 4 ekor). Kendala utama yang dihadapi adalah keterbatasan pejantan
sehingga perkawinan kambing tidak optimal, sebagai akibatnya calving
period terlalu panjang. Disisi lain jika memelihara pejantan tanpa
dibarengi jumlah betina yang memadai akan memboroskan biaya. Menurut
perhitungan setidaknya 10 ekor betina harus dipelihara jika memelihara 1 ekor
pejantan.
1. 2 Tujuan
Melakukan analisis finansial usaha ternak kambing di lingkungan di
Kabupaten Cianjur mencangkup keuntungan usaha jangka pendek maupun jangka
panjang serta prospek pengembangan di masa yang akan datang.
BAB 11
PEMBAHASAN
2.1 Budidaya Beternak Kambing
Kambing banyak dipelihara oleh penduduk
pedesaan Indonesia (Mulyono, 2003), karena pemeliharaannya lebih
mudah dilakukan dibandingkan dengan ternak ruminansia besar. Kambing cepat
berkembang biak dan pertumbuhan anaknya juga tergolong cepat. Menurut Sarwono
(1999), nilai ekonomis, social, dan budaya beternak kambing sangat nyata,
karena peningkatan pendapatan keluarga bisa mencapai 14-25 % dari total
pendapatan keluarga, semakin rendah perluasan lahan pertanian dan nilai sumber
daya yang diusahakan dari beternak kambing.
Kambing Etawa Berasal dari wilayah Jamnapari India. Kambing ini
paling popular di Asia Tenggara, termasuk tipe dwiguna yaitu penghasil susu dan
penghasil daging. Ciri-cirinya postur tubuh besar, telinga panjang menggantung,
bentuk muka cembung, bulu bagian paha sangat lebat, BB jantan mencapai 90 kg,
BB betina 60 kg. produksi susu mencapai 235 kg/ms laktasi. Di Indonesia untuk
perbaikan mutu kambing local maka menghasilkan kambing PE (Peranakan Etawa).
Sentra terbesar kambing PE adalah di Kaligesing Purworejo Jawa Tengah
(Anonim,2008).
Kambing Peranakan Etawa adalah ternak dwi guna, yaitu sebagai penghasil
susu dan sebagai penghasil daging (Williamson dan Payne,
1993). Kambing PE adalah bangsa kambing yang paling populer dan
dipelihara secara luas di India dan Asia Tenggara (Devendra dab
Burns, 1994).
Ciri-ciri kambing PE adalah warna bulu belang hitam putih atau merah dan
coklat putih; hidung melengkung; rahang bawah lebih menonjol; baik jantan
maupun betina memiliki tanduk; telinga panjang terkulai; memiliki kaki dan bulu
yang panjang (Sosroamidjoyo, 1984). Kambing PE telah beradaptasi
dengan baik terhadap kondisi dan habitatIndonesia (Mulyono, 2003).
Menurut Sarwono (1999), bila tata laksana pemeliharaan ternak kambing
yang sedang bunting atau menyusui serta anaknya baik, maka bobot anak kambing
bisa mencapai 10-14 kg/ekor ketika disapih pada umur 90-120 hari. Williamson
dan payne (1993) menyatakan untuk kambing pedaging ada kecendrungan menunda
penyapihan untuk memberikan kesempatan anak kambing memperoleh keuntungan yang
maksimal dari susu induknya. Sedangkan untuk kambing perah, penyapihan harus
dilakukan lebih awal, tanpa mengganggu pertumbuhan anaknya, agar kelebihan
produksi induk dapat dimanfaatkan oleh peternak untuk meningkatkan pendapatan
atau keperluan gizi keluarga (Asih, 2004).
2.2 Sistem Pemeliharaan Ternak
Kambing PE
Menurut Williamson dan Payne (1993), sistem pemeliharaan secara
ekstensif umumnya dilakukan di daerah yang padang pengembalaannya
luas, kondisi iklim yang menguntungkan, dan untuk daya tampung kira-kira tiga
sampai dua belas ekor kambing per hektar. Sistem pemeliharaan secara ekstensif,
induk yang sedang bunting dan anak-anak kambing yang belum disapih harus diberi
persediaan pakan yang memadai (Devendra dan Burns, 1994). Rata-rata pertambahan
bobot badan kambing yang dipelihara secara ekstensif dapat mencapai 20-30 gram
per hari (Mulyono 2003).
Sistem pemeliharaan secara intensif memerlukan pengandangan terus
menerus atau tanpa pengembalaan dan lebih terkontrol (Williamson dan Payne
1993). Kambing jantan dan betina dipisahkan begitu juga betina muda dari umur
tiga bulan sampai cukup umur untuk dikembang biakkan. Kambing pejantan harus
dipisahkan dengan yang betina (Devendra dan Burns, 1994). Pertambahan bobot
badan pada sistem pemeliharaan intensif ini bisa mencapai 100-150 gram per hari
dengan rata-rata 120 gram perhari (Sarwono, 1999).
Sistem pemelihraan semi intensif merupakan gabungan dari ekstensif dan
intensif yaitu dengan pengembalaan terkontrol dan pemberian konsentrat tambahan
(Williamson dan Payne 1993). Pertambahan bobot badan sistem ini bisa mencapai
30-50 gram per hari.
2.3 Pemeliharaan Induk Kambing
Laktasi
Pemliharaan induk kambing laktasi dapat dilakukan dengan beberapa cara
untuk memenuhi kebutuhan susu anaknya dan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
tubuhnya yaitu dengan melakukan penanganan pada waktu melahirkan, kemudian
memperhatikan pakan dan air minum yang diberikan dan juga sanitasi
(kebersihan) kandang supaya terhindar dari sumber-sumber penyakit yang bisa
mengurangi produktifitas induk kambing laktasi laktasi tersebut (Anonim, 2009).
2.4 Pemberian Pakan Pada Induk
Kambing Pe
Sarwono (1999) menyatakan, kambing membutuhkan jenis hijauan yang beragam.
Kambing sangat menyukai daun-daunan dan hijauan selain itu kambing juga
memerlukan pakan penguat untuk mencukupi kebutuhan gizinya. Pakan penguat bisa
berupa dedak, bekatul padi, jagung atau ampas tahu dan dapat juga campurannya.
Sodiq (2002) menjelaskan, kambing tergolong hewan herbivore atau hewan pemakan
tumbuhan. Kebutuhan ternak ruminansia terhadap pakan, tergantung dari jenis
ternaknya, umur ternak, fase (pertumbuhan, dewasa, bunting atau menyusui),
kondisi tubuh dan lingkungan tempatnya hidup. Pakan sangat dibutuhkan kambing
untuk tumbuh dan berkembang biak (Sarwono, 1991).
Pakan yang sempurna mengandung gizi seperti protein, karbohidrat lemak,
vitamin dan mineral yang seimbang (Mulyono, 2003). Pemberian pakan yang efisien
mempunyai pengaruh lebih besar dari pada faktor-faktor yang lainnya, dan
merupakan cara yang sangat penting untuk peningkatan produktivitas (Devendra
dan Burns, 1994).
2.5 Penanganan Kesehatan Induk
Kambing Pe
Ternak kambing merupakan ternak yang umumnya dipelihara di pedesaan,
sehingga banyak ditemukan penyakit-penyakit seperti scabies (kudis), belatungan
(myasis), cacingan dan keracunan tanaman. Pengobatan yang biasa diberikan di
pedesaan yaitu pengobatan tradisional, meskipun banyak obat-obatan terjual di
toko. Namun demikian usaha pencegahan perlu dilakukan dengan menjaga kebersihan
ternak dan lingkungannya, pemberian pakan yang cukup (kualitas dan kuantitas),
bersih dan tidak beracun (Anonim, 2009).
Menurut Muljana (2001), Pengobatan ternak kambing khususnya penyakit scabies
bisa menggunakan obat seperti Asuntol, Tiguvon, Neguvon, Termadex, Benzyl
Benzonate dan bisa dilakukan dengan cara menempatkan ternak ditempat yang
hangat dan pakan bergizi tinggi, rambut kambing dicukur dan dimandikan serta
bisa juga menggunakan obat-obatan seperti serbuk belerang dicampur kunyit dan
binyak kelapa yang dipanasi, kemudian dioleskan. Penyakit belatung disebabkan
oleh luka yang berdarah dan infeksi kemudian dihinggap lalat sehingga tumbuh
larva belatung. Pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan Gusanex dan obat
anti biotik lainnya, atau bisa dilakukan dengan cara membersihkan luka kemudian
obati dengan gerusan kamper/kapur barus kemudian luka ditutup dengan perban dan
diulangi pada hari selanjutnya (Anonim, 2009).
2.6 Pemeliharaan Induk Bunting
Kebuntingan pada seekor induk dapat dianggap terjadi apabila induk tidak
menunjukkan tanda birahi kurang lebih 3 minggu setelah terjadi perkawinan.
Proses kebuntingan pada induk menimbulkan banyak perubahan fisiologis, sehingga
setiap cekaman dari luar harus dapat dicegah semaksimal mungkin. Kepekaan induk
bunting terhadap berbagai potensi cekaman ini semakin kuat seiring dengan
bertambahnya usia kebuntingan. Kebuntingan biasanya menyebabkan kapasitas
saluran cerna untuk menampung pakan menurun, sehingga secara fisik menekan
konsumsi pakan, sedangkan kebutuhan nutrisi meningkat, sejalan dengan
bertambahnya bobot fetus di dalam kandungan.
Masa bunting pada induk kambing sekitar 5 bulan (146-155
hari), namun periode paling kritis terjadi selama 6-8 minggu sebelum
melahirkan, karena 80% pertumbuhan janin terjadi dalam masa tersebut. Oleh
karena itu, mengetahui saat terjadi perkawinan menjadi sangat penting dalam
menduga umur kebuntingan seekor induk .Kambing yang bunting harus ditempatkan
di kandang terpisah untuk menghindari gangguan kambing lainnya untuk
menghindari perkelahian sesama kambing. Perlu juga dijaga agar kandang tidak
licin, karena bisa menyebabkan kambing yang sedang bunting tergelincir yang
mengakibatkan keguguran.
Untuk melancarkan proses kelahiran, setiap hari kambing bunting
sebaiknya dikeluarkan dari kandang dan dibawa berjalan-jalan selama satu jam.
Masa kebuntingan kambing selama 5 bulan.Selama periode bunting, kambing juga
membutuhkan pakan yang lebih banyak dan lebih berkualitas untuk menunjang
seluruh proses didalam tubuhnya. Di samping itu untuk menunjang proses laktasi
setelah beranak. Pakan berupa hijauan yang bervariasi (dalam jumlah 10% berat
badan) dan kosentrat 0,5-0,6 kg perhari sudah mampu mencukupi kebutuhan kambing
bunting ( Sodiq dan Abidin.2002).
2.7 Pemeliharaan Induk Masa
Laktasi
Masa laktasi adalah masa kambing perah mampu menghasilkan susu. Sesaat
setelah melahirkan , ambing kambing sudah menghasilkan cairan yang disebut
kolostrum. Kolostrum bisa keluar dengan cara diisap oleh cempe atau diperah.
Untuk kambing-kambing perah, sebaiknya kolostrum dikeluarkan dengan cara
diperah dan diberikan kepada cempe dengan menggunakan ambing buatan berupa
botol susu bayi. Tujuannya untuk menghindari kotornya ambing yang akan
menyebabkan susu kambing yang akan dihasilkan tercemar. Kolostrum
dihasilkan oleh ambing selama 2-7 hari, setelah itu ambing akan menghasikan
susu normal. Atas dasar pertimbangan ekonomi , sebaiknya cempe diberi susu
buatan, sedangkan susu kambing yang dihasilkan seluruhnya dijual (Sodiq dan
Abidin.2002).
2.8 Karakteristik Pasar
Pasar bagi daging kambing dapat digolongkan menjadi 2 bagian besar yakni
pasar tradisional bagi masyarakat pedesaan dan sebagian masyarakat kota dan
pasar khusus bagi masyarakat kota. Kedua jenis konsumen daging kambing ini
mempunyai karakteristik yang berbeda. Konsumen dari pasar tradisonal belum
memperhatikan aspek-aspek kesehatan hewan, pembangunan jenis daging dan cara
penanganan daging. Sedang konsumen masyarakat kota sangat memperhatikan
masalah-masalah kesehatan hewan/daging, cara penanganan dan pembagian jenis
daging. Besarnya pangsa kedua jenis pasar ini tak dapat ditentukan.
Pada pasar tradisional, daging kambing dibeli oleh pedagang dari ternak,
kemudian dipotong di rumah pemotongan hewan atau dipotong sendiri. Penjualan
daging ini dilaksanakan di pasar-pasar umum. Pasar khusus masyarakat kota
umumnya membeli dari pedagang daging yang telah disertifikasi. Daging dipotong
di rumah pemotongan hewan dan dijual di supermarket atau di toko-toko khusus
yang menjual daging. Hotel dan restoran selain membeli dari supermarket juga
membeli dari pemasok yang khusus mengantarkan daging ke restoran sesuai dengan
pesanan.
Tingkat permintaan daging kambing tidak terlalu fluktuatif sepanjang
tahun, namun permintaan akan meningkat dengan cepat pada saat Hari raya Idul
Adha. Pada hari raya tersebut, biasanya permintaan daging akan meningkat dan
harga akan meningkat pula. Pada Hari raya Idul Adha, dijual kambing hidup yang
sehat untuk digunakan pada kegiatan keagamaan.
a.
Persepsi
konsumen.
Dari hasil studi Sukmawati et al. 19.., memperlihatkan tentang posisi
susu kambing yang semakin penting di masyarakat. Dari hasil wawancara tersebut,
bahwa sebagian besar konsumen memanfaatkan susu kambing sebagai obat (56,3%)
selebihnya untuk menambah daya tahan tubuh (31,2%) dan sebagai aprodisiak
(12,5%). Susu kambing lebih dikenal sebagai penawar penyakit tertentu disamping
sebagai sumber gizi. Berdasarkan kesimpulan dari berbagai literature tentang
kandungan dan khasiat susu kambing adalah sebagai berikut :
Dari data yang ada, susu kambing ternyata sangat potensial sebagi sumber
protein hewani disamping susu sapi. Bagi anak-anak (bayi) yang alergi terhadap
susu sapi, susu kambing dapat menggantikannya. Oleh sebab itu, tepat sekali
kalau pemasyarakatan susu kambing dikaitkan dengan program gizi keluarga dalam
program posyandu. Di Inggris, susu kambing selain dikonsumsi, juga diolah
menjadi berbagai bentuk seperti keju, krim, mentega dan yoghurt
(Mackenzie,1970).
b. Harga yang sangat menarik.
Persepsi tersebut diatas mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
mahalnya harga susu kambing jika dibandingkan harga susu sapi yang dapat
mencapai 10 kali lipat. Harga susu kambing segar mulai Rp12.000/liter di Jawa
Barat, sebaliknya harga susu sapi Rp2500 – 3000/liter.
c. Konsumsi Susu Kambing.
Akhir-akhir ini konsumsi susu kambing terus meningkat dari tahun
ketahun. Laju peningkatan populasi yang tidak seimbang dengan laju permintaan
kambing tersebut akan menciptakan ketidakseimbangan antara permintaan dan
produksi tersebut. Jika diperkirakan seekor kambing dapat menghasilkan daging
seberat 10 kg, laju permintaan daging kambing 6% per tahun dan laju peningkatan
populasi kambing sebesar 3% per tahun maka proyeksi permintaan dan populasi
kambing tahun 1999.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kambing perah merupakan komoditas baru di Indonesi yang kemungkinan
memiliki prospek pengembangan yang baik. Walaupun belum terbukti secara ilmiah,
anggapan yang berkembang di masyarakat adalah bahwa susu kambing dapat
menyembuhkan berbagai penyakit pernafasan, seperti asma dan TBC.
3.2 saran
Tempat pakan seharusnya tetap dibersihkan sebelum diberikan pakan lagi,
supaya sisa-sisa pakan tersebut tidak membusuk dan mengeluarkan bau yang
mengurangi nafsu makan ternak kambing.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008 . Kambing Perah.
http://rozi2m1.blogspot.com/2008/05/setelah-150-hari-di-dalam-perut.html ( diakses pada tanggal 16 april 2014 ).
Anonim, 2009. Penyakit Umum Yang
Menyerang Pada Kambing.
http://klinikhewan09.wordpress.com ( diakses pada tanggal 16 april 2014 ).
Arif, 2010. Penanganan Proses Kelahiran Pada
Ternak Kambing. Penanganan Proses Kelahiran Pada Ternak.
Penanganan Proses Kelahiran Pada Ternak
Kambing Kandang Bambu
Management.html ( diakses pada tanggal 16 april
2014 ).
Asih, A.R.S. 2004. Manajemen Ternak
Perah. UNRAM Press. Mataram.
Devendra C. dan M. Burns. 1994. Produksi
Kambing di Daerah Tropis. Penerbit ITB. Bandung.
Ginting, Simon P.2009. Pedoman Teknis
Pemeliharaaan Induk dan Anak Kambing Masa Pra-Sapih. Loka Penelitian Kambing
Potong. Sumatra Utara.
Muljana, W, 2001. Cara Beternak
Kambing. CV. Aneka Ilmu. Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar