BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ditinjau dari potensi sumberdaya wilayah, sumberdaya alam
Indonesia memiliki potensi ketersediaan pangan yang beragam dari satu wilayah
kewilayah lainnya, baik sebagai sumber karbohidrat maupun protein, vitamin dan mineral,
yang berasal dari kelompok padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani,
kacang-kacangan, sayur dan buah serta biji berminyak.
Berdasarkan hasil susenas tahun 1999, realisasi konsumsi
4 (empat) kelompok pangan masih di bawah anjuran yaitu : umbi-umbian 46%,
pangan hewani 31%, kacang-kacangan 47%, serta sayur dan buah 49%. Hal ini
terjadi karena pendapatan masyarakat makin berkurang, baik daya beli maupun
nominalnya, serta pengetahuan terhadap pangan dan gizi masih rendah.
Untuk meningkatkan gizi terutama pada gizi mikro
masyarakat pada umumnya dan keluarga pada khususnya, dapat dilakukan melalui
pemberdayaan masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia
dilingkungannya. Salah satu upaya pemberdayaan masyarakat tersebut di atas
adalah dengan pemanfaatan pekarangan yang dikelola oleh keluarga tani-nelayan
sehingga mudah untuk pemeliharaan dan pemanenan hasilnya.
Lahan pekarangan sudah lama dikenal dan memiliki fungsi
multiguna. Fungsi pekarangan adalah untuk menghasilkan :
(1) bahan makan sebagai tambahan hasil sawah dan
tegalnya;
(2) sayur dan
buah-buahan;
(3) unggas, ternak kecil dan ikan;
(4) rempah, bumbu-bumbu dan wangi-wangian;
(5) bahan kerajinan tangan;
(6) uang tunai.
Usaha di pekarangan jika dikelola secara intensif sesuai dengan
potensi pekarangan, disamping dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga,
juga dapat memberikan sumbangan pendapatan bagi keluarga. Dari hasil penelitian
di Yogyakarta (Peny, DH dan Benneth Ginting, 1984), secara umum pekarangan
dapat memberikan sumbangan pendapatan antara 7% sampai dengan 45%.
1.2 Manfaat
Manfaat
dari penulisan makalah ini yaitu mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Hortikultura
agar dapat memahami tentang Manfaat dari Pekarangan
1.3 Tujuan
Adapun
tujuan dari makalah ini adalah agar mahasiswa mengetahui bagaimana Budidaya
tanaman dipekarangan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Perkarangan
Pekarangan adalah sebidang tanah di sekitar rumah
yang mudah di usahakan dengan tujuan untuk meningkatkan pemenuhan gizi mikro
melalui perbaikan menu keluarga. Pekarangan sering juga disebut sebagailumbung
hidup, warung hidup atau apotik hidup. Dalam kondisi tertentu, pekarangan dapat
memanfaatkan kebun/rawa di sekitar rumah.
Pemanfaatan Pekarangan adalah pekarangan yang
dikelola melalui pendekatan terpadu berbagai jenis tanaman, ternak dan ikan,
sehingga akan menjamin ketersediaan bahan pangan yang beranekaragam secara
terus menerus, guna pemenuhan gizi keluarga.
Participarory Rural Appraisal (PRA) adalah sekumpulan
pendekatan dan metode yang mendorong masyarakat perdesaan untuk turut serta
meningkatan dan menganalisis pengetahuan mereka mengenai hidup dan kondisi
mereka sendiri, agar mereka dapat membuat rencana dan tindakan.
Menurut arti katanya, pekarangan berasal ari kata
“karang” yang berarti halaman rumah (Poerwodarminto, 1976). Sedang secara luas,
Terra (1948) memberikan batasan pengertian sebagai berikut:
“Pekarangan adalah tanah di sekitar perumahan, kebanyakan
berpagar keliling, dan biasanya ditanami padat dengan beraneka macam tanaman
semusim maupun tanaman tahunan untuk keperluan sendiri sehari-hari dan untuk
diperdangkan. Pekarangan kebanyakan slng berdekaan, dan besama-sama membentuk
kampung, dukuh, atau desa”.
Batasan pengertian ini, di dalam praktek masih terus
dipergunakan sampai sekitar dua puluh tahun kemudian. Terbukti dari
tulisan-tlisan Soeparma (1969), maupun Danoesastro (1973), masih juga
menggunakan definisi tersebut. Baru setelah Soemarwoto (1975) yang melihatnya
sebagai suatu ekosistem, berhasil memberikan definisi yang lebih lengkap dengan
mengatakan bahwa:
“Pekarangan adalah sebidang tanah darat yang terletak
langsung di sekitar rumah tinggal dan jelas batas-batasannya, ditanami dengan
satu atau berbagai jenis tanaman dan masih mempunyai hubungan pemilikan
dan/atau fungsional dengan rumah yang bersangkutan. Hubungan fungsional yang
dimaksudkan di sini adalah meliputi hubungan sosial budaya, hubungan ekonomi,
serta hubungan biofisika”. (Danoesastro, 1978).
2.2 Manfaat Dan Fungsi Pekarang
Ditinjau dari segi sosial budaya, dewasa ini nampak ada
kecenderungan bawa pekarangan dipandang tidak lebih jauh dari fungsi
estetikanya saja. Pandangan seperti ini nampak pada beberapa anggota masyarakat
pedesaan yang elah “maju”, terlebih pada masyarakat perkotaan. Yaitu, dengan
memenuhi pekarangannya dengan tanaman hias dengan dikelilingi tembok atau pagar
besi dengan gaya arsitektur “modern”.
Namun, bagi masyarakat pedesaan yang masih “murni”,
justru masih banyak didapati pekarangan yang tidak berpagar sama sekali.
Kalaupun berpagar, selalu ada bagian yang masih terbka atau diberi pinu yang
mudah dibuka oleh siapapun dengan maksud untuk tetap memberi keleluasaan bagi
masyarakat umum untuk keluar masuk pekarangannya.
Nampaknya,
bagi masyarakat desa, pekarangan juga mempunyai fungsi sebagai jalan umum
(lurung) antar tetangga, atar kampung, antar dkuh, ahkan antar desa satu dengan
yang lainnya.
Di
samping itu, pada setiap pekarangan terdapat”pelataran” (Jawa) atau “buruan”
(Sunda) yang dapat dipergunakan sebagai tempat bemain anak-anak sekampung.
Adanya kolam tempat mandi atau sumur di dalam pekarangan, juga
dapat dipergunakan oleh orang-orang sekampung dengan bebas bahkan
sekaligus merupakan tempat pertemuan mereka sebagai sarana komunikasi masa
(Soemarwoto, 1978).
Jadi,
bagi masyarakat desa yang asli, pekarangan bkanlah milik pribadi
yang”eksklusif”, melainkan juga mempunai fungsi sosial budaya di mana anggota
masyarakat (termasuk anak-anak) dapat bebas mempergunakannya untuk
keperluan-keperluan yang bersifat sosial kebudayaan pula.
2.3 Fungsi Hubungan Ekonomi
Selain fungsi hubungan sosial budaya, pekarangan juga
memiliki fungsi hubungan ekonomi yang tidak kecil artinya bagi masyarakat yang
hidup di pedesaan.
Dari
hasil survey pemanfaatan pekarangan di Kalasan, disimpulkan oleh Danoesastro
(1978), sedikitnya ada empat fungsi pokok yang dipunyai pekarangan, yaitu
(Tabel 1): sebagai sumber bahan makanan, sebagai penhasil tanaman perdagangan,
sebagai penghasl tanaman rempah-rempah atau obat-obatan, dan juga sumber
bebagai macam kayu-kayuan (untuk kayu nakar, bahan bangunan, maupun bahan
kerajinan).
Tabel 1. Daftar berbagai macam tanaman di pekarangan
petani di kelurahan Sampel, dikelompokkan menurut fungsina (Kecamatan Kalasan).
No.
|
Golongan
Tanaman
|
Macam
Tanamannya
|
I
|
Sumber
bahan makanan tambahan :
1. Tanaman
karbohdrat
2. Tanaman
sayuran
3. Buah-buahan
4. Lain-lain
|
Ubikayu,
ganyong, uwi, gembolo, tales,garut dll.
Mlinjo,
koro, nangka, pete.
Pepaya,
salak, mangga, jeruk, duku, jambu, pakel, mundu, dll.
Sirih.
|
II
|
Tanaman
perdagangan
|
Kelapa,
cengkeh, rambutan.
|
III
|
Rempah-rempah,
obat-obatan.
|
Jahe,
laos, kunir, kencur, dll.
|
IV
|
Kayu-kayuan:
1. Kayu
bakar
2. Bahan
bangunan
3. Bahan
kerajinan
|
Munggur,
mahoni, lmtoro.
Jati,
sono, bambu, wadang.
Bambu,
pandan, dll.
|
Berdasarkan
kenyataan-kenyataan tersebutlah, maka Danoesastro (1977) sampai pada kesimpulan
bahwa bagi masyarakat pedesaan, pekarangan dapat dipandang sebagai “lumbung
hidup” yang tiap tahun diperlukan untuk mengatasi paceklik, dan sekaligus juga
merupakan “terugval basis” atau pangkalan induk yang sewaktu-waktu dapat
dimabil manfaatnya apabila usahatani di sawah atau tegalan mengalami bencana
atau kegagalan akibat serangan hama/penyakit, banjir, kekeringan dan bencana
alam yang lain.
2.4 Fungsi Hubungan Biofisika
Pada
pandangan pertama, bagi orang “kota” yang baru pertama kali turun masuk desa,
akan nampak olehnya sistem pekarangan yang ditanami secara acak-acakan dengan
segala macam jenis tanaman dan sering pula menimbukan kesan “menjijikkan”
karena adanya kotoran hewan ternak di sana sini. Namun, dalam penelitian
menunjukkan, bahwa keadaan serupa itu adalah merupakan manifestasi kemanunggalan
manusia dengan lingkungannya sebagaimana yang telah diajarkan nenek moyangnya.
Di
daerah Sunda misalnya, tetapi terdapat pandangan ang oleh Hidding (1935)
disebutkan:
“Manusia adalah bagian dalam dan dari satu kesatuan yang
besar Semua mempunai tempat sendiri dari tidak ada sesuatu yang berdiri sendiri
dalam teori kebatinan Jawa, disebutkan bahwa sesuatu yang ada dan yang hidup
pada pokoknya satu dan tunggal. Bahkan, justru pola pengusahaan pekarangan
seperti itulah ternyata, yang secara alamiah diakui sebagi persyaratan demi
berlangsungnya proses daur ulang (recycling) secara natural (alami) yang paling
efektif dan efisien, sehingga pada kehidupan masyarakat desa tidak mengenal zat
buangan. Apa yang menjadi zat buangan dari suatu proses, merupakan sumberdaya
yang dipergunakan dalam proses berikutnya yang lain. Sebagai contoh, segala
macam sampah dan kotoran ternak dikumpulkan menjadi kompos untuk pupuk
tanaman. Sisa dapur, sisa-sisa makanan, kotoran manusia dan ternak dibuang ke
kolam untuk dimakan ikan. Ikan dan hasil tanaman (daun, bunga, atau buahnya)
dimakan manusia, kotoran manusia dan sampah dibuang ke kolam atau untuk kompos,
demikian seterusnya tanpa berhenti dan berulang-ulang.
Dengan
demikian kalaupun dalam proses kemajuan peradaban manusia ada sesuatu yang
perlu diperbaki seperti: pembuatan jamban
Keluarga
di atas kolam, sistem daur ulang yang tidak baik dan efisiensi harus tetap
terjaga kelangsungannya.
2.5 Dampak Modernisasi Yang Memprihatinkan
Tetapi
sayang, berbaai fungsi dari pekarangan yang begitu kompleks dan mencakup banyak
segi kehidupan manusia serta pelestarian lingkungan itu kan mengalami “erosi”
yang memprihatinkan karena sering hanya dijadikan korban untuk memenuhi alasan
“modernisasi”.
Proyek-proyek pembangunan industri dan prasarana lain di
desa pinggiran sering kurang memperhitungkan bahwa, pembangunan kompleks
perumahan karyawannya yang terlampau mewah dibandingkan dengan perumahan
penhuni asli dan yang dipagar keliling rapat serta mewah pula itu merupakan
isolasi bagi masyarakat penatang dengan lingkungannya yang bisa menimbulkan
ketegangan sosial dan kriminalitas.
Lebih-lebih jika pembangunan itu sendiri membutuhkan
tanah urug yang harus diambilkan dari tanah lapisan aas (top soil) pekarangan
penduduk di sekitarnya. Penduduk asli tidak saja menjadi kehilangan “lumbung
hidup” atau “pangkalan induknya” karena pekarangan dan tegalannya tidak
produktif lagi, tetapi sekalgus kualitas lingkungannya menjadi rusak karena
daur ualng idak lagi berlangsung lancar.
Pengaruh pembangunan yang kurang bijak, modernisasi
perumahan yang mengganti tanaman pekarangan menjadi tanaman hias dan
agar hidup yang berubah menjadi tembol atau tulang besi, sebenarnya sangat
disayangkan. Modernisasi memang harus tumbuh, tetapi bkan dengan merusak
lingkungan hidup. Peningkatan kesejahteraan lahiriah memang salah satu tuntutan
hidup, tetapi bukan dengan menciptakan masayarakat eksklusif yang mengisolir
diri. Kurangnya halaman tempat bermain bagi anak-anak mungkin saja dapat
dialihkan, tetapi keakraban anak-anak sekampung yang merenggang akan dapat
berbalik menjadi iri dengki, dan dendam yang tersembuni. Itulah masalahnya.
2.6 Tanaman Obat
Tanaman
obat di pekarangan rumah memiliki fungsi ganda. Selain sebagai dekorasi
halaman, tanaman obat berfungsi sebagai ramuan alami untuk mengobati berbagai
penyakit yang seringkali timbul. Masyarakat dewasa ini telah memahami bahwa
tanaman obat selain sangat berguna buat menyembuhkan berbagai penyakit, tanaman
ini juga banyak dibutuhkan oleh banyak industri obat-obatan, rumah sakit, dan
perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang penjualan produk kesehatan.
Sejak puluhan tahun yang lalu, masyarakat di beberapa
Negara-negara Eropa, Arab, China, dan India mulai menekuni gaya hidup Back
To Nature. Mereka meyakini bahwa pemanfaatan bahan-bahan yang bersifat alamiah
lebih diterima (acceptable) oleh tubuh manusia dibandingkan dengan penggunaan
bahan-bahan yang bersifat sintetik, walaupun mereka tahu betul bahwa khasiat
pemanfaatan bahan-bahan yang alami cenderung relatif lambat.
Kini kecendrungan untuk kembali ke alam sudah bersifat
global, ditandai dengan maraknya produk bahan alam baik dari dalam maupun dari
luar negeri dengan berbagai macam label dan merk, baik itu produk obat-obatan,
minuman kesehatan, dan makanan kesehatan yang didistribusikan melalui pemasaran
multi level marketing (MLM) dan sebagainya.
Pilihan untuk memanfaatkan tanaman obat di pekarangan,
perkebunan, maupun hasil hutan untuk berbagai pengobatan merupakan pilihan yang
sangat tepat. Apalagi program pemerintah sekarang ini sangat gencar menghimbau
seluruh masyarakat untuk menggalakan pemanfaatan obat yang asli bersumber dari
tanaman obat Indonesia.
Back To Nature, itulah seruan ajakan yang semakin bergema
di tengah-tengah pesatnya arus informasi teknologi dunia saat ini. Oleh karena
itu, manfaatkanlah pekarangan rumah dengan menanam berbagai tanaman yang
memiliki fungsi ganda, yakni, tanaman yang dapat memperindah pekarangan,
tanaman yang berkhasiat obat dan tanaman yang memiliki nilai jual ekonomi
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pekarangan adalah tanah di sekitar perumahan, kebanyakan
berpagar keliling, dan biasanya ditanami padat dengan beraneka macam tanaman
semusim maupun tanaman tahunan untuk keperluan sendiri sehari-hari dan untuk
diperdangkan. Pekarangan kebanyakan slng berdekaan, dan besama-sama membentuk
kampung, dukuh, atau desa.
Lahan pekarangan sudah lama dikenal dan memiliki fungsi
multiguna. Fungsi pekarangan adalah untuk menghasilkan : (1) bahan makan
sebagai tambahan hasil sawah dan tegalnya; (2) sayur dan
buah-buahan; (3) unggas, ternak kecil dan ikan; (4) rempah,
bumbu-bumbu dan wangi-wangian; (5) bahan kerajinan tangan; (7) uang tunai.
Tanaman obat di pekarangan rumah memiliki fungsi
ganda. Selain sebagai dekorasi halaman, tanaman obat berfungsi sebagai ramuan
alami untuk mengobati berbagai penyakit yang seringkali timbul.
3.2 Saran
Perlu
adanya perhatian khusus oleh pemerintah untuk memberikan pengarahan betapa
pentingnya bertani di pekarangan rumah sebagai sumber kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Danoesastro, Haryono : “Tanaman Pekarangan
dalam Usaha Meningkatkan Ketahanan Rakat Pedesaan”. Agro – Ekonomi. Maret
1978.
__________________- : Survai
Pekarangan Kecamatan Kalasan,kerjasama Fakultas Pertanian UGM dengan
Diperta Daerah Istimewa Yagyakarta. 1979.
__________________ : Pemanfaatan
Pekarangan. Yayaan Pembina Fakulas Pertanian UGM. Yogyakarta, 1979.
Hidding, K.A.H. : Gebruiken en
Godsdients der Soendaneezen G. Kolff & Co. Hal. 24. Batavia. 1975.
Soemarwotto, O : “Pegaruh
Lingkungan Proyek Pembangunan”. Prisma, N.3 Juli 1975.
_____________ : Ekologi Desa:
Lingkungan Hidup dan Kualitas Hdup. Prisma, No. 8, September
1978.
Terra, G.J.A. : Tuinbouw : Van Hall en
C. Van de. Koppel : De Landbouw in de indische archpel.IIA, 1949. Terjemahan
Haryono Danoesastro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar